JA(T)UH
Hai, selamat bulan april tahun 2019.
Disini dikota ku, musim sedang labil, kadang hujan kadang juga matahari bersinar terang. Hampir setiap hari aku bertemu matahari dipagi hari lalu hujan disore hari. banyak pertemuan yang terpaksa batal karena hujan disore hari. direschedule ke sore berikutnya pun sama saja. musim sedang sulit diterka-terka. Beberapa hari kadang cuaca panas menyinari hingga sore membuat guratan jingga dilangit senja indah bukan kepalang. ah sebentar aku bukan ingin berbagi tentang musim yang labil itu. tulisan ini adalah tentang dia. Seseorang yang.... ah, entah harus kugambarkan seperti apa. Saat aku menulis ini, raga kami telah jauh berpisah dilain kota. Mungkin karena terlampau jauh, aku bahkan tak tahu dia sedang berada di kota mana. komunikasi kami terputus bukan karena jarak dan waktu yang tak mempertemukan, tapi ini tentang bungkam yang belum ada habisnya. Barangkali kata dan tanda tanya pun turut bertanya-tanya.Mengapa kami kehabisan kata bahkan hanya sekedar untk bertukar kabar. Benar sekali jarak terjauh dari dua orang adalah dua orang yang pernah begitu dekat lalu akhirnya saling pergi dan meninggalkan." .Dekat? aku bahkan tidak tahu definisinya apa. Apakah pernah kita merasa memiliki kedekatan yang lebih dari sekedar dua orang yang berteman? Atau dua orang yang menepatkan diri pada posisi kakak dan adik yang saling peduli satu sama lain?Entahlah aku pun bingung menyimpulkan.
Kita pernah dalam fase berkabar setiap saat dan waktu. Tak melulu tentang posisi keberadaan, tentang kabar baik dan buruk, tentang sehat dan sakit, tentang canda dan juga tawa, dan semua hal yang dulunya kumiliki. Atau mungkin milik kami. kebahagian itu, tawa itu, dulu miliku kah atau miliknya juga? Entah kami tidak pernah bertanya apapun perihal itu. Sebab bagiku apa yang penting soal pernyataan jika perasaaan kita senang tanpa alasan. Lalu akhirnya kita tiba dimasa segala hal butuh penjelasan, butuh pernyataan. Bagaimana mungkin bisa menuntut abu-abu menjadi warna putih atau hitam, sementara perasaannya masih simpang siur kebanyak hati. Bagaimana bisa kusimpulkan keyakinan, dia sendiri tidak yakin mencintai siapa.
Komunikasi kita berhenti pada kalimat " bisakah berhenti peduli?". Aku sudah bilang aku bahagia ketika membuat oranglain bahagia, jika itu adalah permintaannya maka kukabulkan. Aku berhenti menanyakan banyak hal, termasuk kabarnya, keadaannya dan semua hal. Jika peranyaannya diubah menjadi aku bisa atau tidak melakukannya, tentu jawabannya tidak sama sekali, tidak mudah.Sampai sekarang masih ku terka-terka dia dimana, sedang apa, apa dia baik? dan segala hal yang berkaitan dengannya. Aku lancang melakukannya tanpa sepengetahuannya, aku belum tahu caranya berhenti menanyakan. Kala hujan bersua dengan bumi, pertanyaanku lebih runyam lagi. Hujan adalah segala nostalgia tentang kecintaannya pada hujan. Beberapa kali kami berencana untuk bermain bersama hujan yang akhirnya batal. Aku bukan tidak berani basah, hanya saja aku tidak suka basah karena hujan, atau bukan tidak suka, tapi tidak bisa. Bukankan aku pernah berkata padanya tentang dingin yang tidak cocok dengan ku? jadi biarlah kala hujan nanti datang lagi bersama secangkir teh atau kopi, atau coklat panas ditangan, biar aku hanya menatapmu bermain bersama hujan menikmati tawamu dari kejauhan dan mungkin sesekali aku juga akan ikut basah bersamamu, bersama hujan yang katanmu tak perlu alasan mencintai hujan sebab anak kecil pun tahu bagaimana hujan menyenangkan .
MWD
Disini dikota ku, musim sedang labil, kadang hujan kadang juga matahari bersinar terang. Hampir setiap hari aku bertemu matahari dipagi hari lalu hujan disore hari. banyak pertemuan yang terpaksa batal karena hujan disore hari. direschedule ke sore berikutnya pun sama saja. musim sedang sulit diterka-terka. Beberapa hari kadang cuaca panas menyinari hingga sore membuat guratan jingga dilangit senja indah bukan kepalang. ah sebentar aku bukan ingin berbagi tentang musim yang labil itu. tulisan ini adalah tentang dia. Seseorang yang.... ah, entah harus kugambarkan seperti apa. Saat aku menulis ini, raga kami telah jauh berpisah dilain kota. Mungkin karena terlampau jauh, aku bahkan tak tahu dia sedang berada di kota mana. komunikasi kami terputus bukan karena jarak dan waktu yang tak mempertemukan, tapi ini tentang bungkam yang belum ada habisnya. Barangkali kata dan tanda tanya pun turut bertanya-tanya.Mengapa kami kehabisan kata bahkan hanya sekedar untk bertukar kabar. Benar sekali jarak terjauh dari dua orang adalah dua orang yang pernah begitu dekat lalu akhirnya saling pergi dan meninggalkan." .Dekat? aku bahkan tidak tahu definisinya apa. Apakah pernah kita merasa memiliki kedekatan yang lebih dari sekedar dua orang yang berteman? Atau dua orang yang menepatkan diri pada posisi kakak dan adik yang saling peduli satu sama lain?Entahlah aku pun bingung menyimpulkan.
Kita pernah dalam fase berkabar setiap saat dan waktu. Tak melulu tentang posisi keberadaan, tentang kabar baik dan buruk, tentang sehat dan sakit, tentang canda dan juga tawa, dan semua hal yang dulunya kumiliki. Atau mungkin milik kami. kebahagian itu, tawa itu, dulu miliku kah atau miliknya juga? Entah kami tidak pernah bertanya apapun perihal itu. Sebab bagiku apa yang penting soal pernyataan jika perasaaan kita senang tanpa alasan. Lalu akhirnya kita tiba dimasa segala hal butuh penjelasan, butuh pernyataan. Bagaimana mungkin bisa menuntut abu-abu menjadi warna putih atau hitam, sementara perasaannya masih simpang siur kebanyak hati. Bagaimana bisa kusimpulkan keyakinan, dia sendiri tidak yakin mencintai siapa.
Komunikasi kita berhenti pada kalimat " bisakah berhenti peduli?". Aku sudah bilang aku bahagia ketika membuat oranglain bahagia, jika itu adalah permintaannya maka kukabulkan. Aku berhenti menanyakan banyak hal, termasuk kabarnya, keadaannya dan semua hal. Jika peranyaannya diubah menjadi aku bisa atau tidak melakukannya, tentu jawabannya tidak sama sekali, tidak mudah.Sampai sekarang masih ku terka-terka dia dimana, sedang apa, apa dia baik? dan segala hal yang berkaitan dengannya. Aku lancang melakukannya tanpa sepengetahuannya, aku belum tahu caranya berhenti menanyakan. Kala hujan bersua dengan bumi, pertanyaanku lebih runyam lagi. Hujan adalah segala nostalgia tentang kecintaannya pada hujan. Beberapa kali kami berencana untuk bermain bersama hujan yang akhirnya batal. Aku bukan tidak berani basah, hanya saja aku tidak suka basah karena hujan, atau bukan tidak suka, tapi tidak bisa. Bukankan aku pernah berkata padanya tentang dingin yang tidak cocok dengan ku? jadi biarlah kala hujan nanti datang lagi bersama secangkir teh atau kopi, atau coklat panas ditangan, biar aku hanya menatapmu bermain bersama hujan menikmati tawamu dari kejauhan dan mungkin sesekali aku juga akan ikut basah bersamamu, bersama hujan yang katanmu tak perlu alasan mencintai hujan sebab anak kecil pun tahu bagaimana hujan menyenangkan .
MWD
Komentar
Posting Komentar